- Oleh: Naufal Mahfudz
- Pemerhati masalah kebangsaan, Wakil Ketua Dewan Penasehat ICMI Orwilsus Bogor
TENTANGKITA.CO – TANGGAL 17 JULI 1908, tepat seratus tujuh belas tahun lalu di Kampung Jembatan Berukir, daerah dingin namun tak bersalju Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, lahir seorang anak laki-laki yang kemudian dikenal sebagai negarawan terkemuka yang tidak hanya diakui tingkat nasional namun juga internasional bernama Mohammad Natsir bergelar Datuk Sinaro Panjang.
Pada tanggal 10 November 2008, dalam peringatan seratus tahun kelahirannya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Natsir gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasa yang diabdikan kepada negara ini.
Begitu banyak pemikiran dan perjuangannya yang dirasakan manfaatnya oleh generasi saat ini untuk kemajuan bangsa. Natsir yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah namun menguasai enam bahasa asing pada usia yang belia dipercaya tiga kali menjadi Menteri Penerangan dan sekali sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia.
Kiprahnya di dunia politik dan keagamaan memberikan warna keteladanan integritas dan kesederhanaan tersendiri bagi bangsa ini. Hari ini teladan perilaku integritas dan kesederhanaan dalam bersikap dan bertindak serta tidak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan keluarga menjadi hal yang teramat langka.
Ketika Natsir menjabat sebagai Menteri Penerangan dan sering berkantor di Yogyakarta, George McTurnan Kahin, Guru Besar Universitas Cornell, pertama kali bertemu Natsir. Kahin terkejut saat melihat sang menteri memakai jas yang bertambal. Pakaiannya ini benar-benar tidak menunjukkan Natsir sebagai seorang menteri.
Kemudian Kahin mengetahui juga bahwa Natsir hanya memiliki kemeja kerja dua stel yang tidak terlalu bagus lagi, hingga akhirnya para pegawai Departemen Penerangan yang dipimpinnya itu berpatungan membeli beberapa pakaian yang pantas untuk Natsir agar terlihat sebagai ‘menteri sungguhan’.
Kisah tentang pakaian, di kemudian hari ketika Natsir mendirikan dan memimpin organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), banyak yang mengamati beliau mengenakan baju yang ‘itu-itu saja’ yaitu baju batik berwarna biru atau baju putih yang tetap dikenakannya walau ada bekas noda tinta yang tidak bisa hilang di saku baju tersebut.
Integritasnya terlihat nyata saat mengundurkan diri dari jabatan sebagai Perdana Menteri. Ketika itu stafnya melaporkan catatan saldo dana taktis Perdana Menteri yang masih cukup banyak. Staf tersebut mengatakan dana ini adalah hak Perdana Menteri. Namun Natsir menolak karena menurutnya itu bukan hak dia dan memerintahkan agar dana tersebut diserahkan ke koperasi karyawan.
Sama halnya ketika Natsir mengembalikan mandat sebagai Perdana Menteri. Beliau mengemudi sendiri mobil dinasnya menuju Istana Presiden untuk menemui Soekarno, dan meminta sopir pribadinya naik sepeda mengikutinya. Setelah bertemu dan berbicara dengan Soekarno beberapa saat, Natsir pamit pulang berboncengan sepeda dengan sopir pribadinya, lalu singgah sebentar ke rumah jabatan Perdana Menteri untuk menjemput seluruh anggota keluarganya pindah hari itu juga ke rumah pribadinya yang tentu saja lebih kecil dan lebih sempit.
Ketika Natsir masih menjadi anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi ia memiliki mobil pribadi buatan Amerika dengan merk DeSoto yang sudah kusam. Saat itu ada seorang pengusaha yang berniat baik ingin menghadiahi mantan Perdana Menteri tersebut dengan sebuah mobil yang lebih pantas yaitu Chevrolet Impala, dan bahkan sudah dibawa ke rumah Natsir. Namun dengan cara yang amat halus Natsir menolak pemberian tersebut.
Anak-anak Natsir yang ‘menguping’ pembicaraan ayahnya dengan sang tamu, ketika itu juga harus membuyarkan harapan mereka menaiki mobil yang tergolong mewah pada zaman itu. Natsir kemudian menasihati anak-anaknya bahwa mobil itu bukan hak dia apalagi keluarganya, lagi pula mobil yang ada masih cukup. Nasihat terkenal Natsir kepada anak-anaknya, yaitu cukupkan yang ada, jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.
Saat Natsir menjadi anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami, yang berpusat di Mekkah dan Wakil Presiden Liga Muslim Dunia, yang bermarkas di Karachi, Pakistan, beliau memiliki fasilitas untuk menunaikan haji setiap tahun. Namun, Natsir tidak memanfaatkan kesempatan ini, dan tidak pernah menggunakan fasilitas tersebut untuk memberangkatkan haji anak dan menantunya. Seluruh anak dan menantu Natsir menunaikan rukun Islam kelima ini dengan biaya sendiri.
Perilaku kasih sayang, peduli, empati, suka membantu dan menghargai sesama, santun, rendah hati dan sikap altruistik diterapkan Natsir tidak hanya kepada orang yang lebih tua darinya, namun juga kepada generasi yang jauh lebih muda. Tidak hanya kepada saudara yang se-iman, namun juga kepada orang yang berbeda keyakinan.
Beliau tak pernah menolak kedatangan tamu yang berkunjung ke kantor maupun ke rumah, dan beliau senantiasa menjadi pendengar yang baik serta penuh perhatian bagi siapa saja yang datang menumpahkan segala kesusahan, walaupun usia beliau sudah cukup lanjut dan memerlukan banyak istirahat.
Beberapa tokoh seperti Jimly Ashiddiqie dan Yusril Ihza Mahendra pernah merasakan bantuan, rasa empati dan kepedulian yang tinggi seorang Natsir terhadap mereka. Ketika mahasiswa dan sebagai Ketua Youth Islamic Student Club (YISC), hampir setiap bulan Jimly diberi uang untuk mendanai organisasinya itu karena kekhawatiran Natsir kepadanya yang tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai hidup dan menjalankan aktivitas organisasinya.
Yusril yang sering konsultasi ke kantor Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jalan Kramat Raya no. 45, Jakarta atau ke rumah Natsir, pernah diberi ‘ongkos becak’ yang dimasukkan langsung ke saku Yusril oleh Natsir saat hendak pulang dari kunjungan Yusril ke rumah beliau di Jalan H.O.S. Cokroaminoto No. 46, Jakarta.
Anwar Ibrahim, saat menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia, juga pernah merasakan kerendahan hati seorang Natsir. Ketika itu Anwar sedang berkunjung ke Indonesia dan ingin menemui Natsir di kediamannnya, namun Natsir mendahului dengan menemui Anwar Ibrahim di hotel, yang kemudian politisi Malaysia itu mengajak sarapan pagi sambil berdiskusi di hotel. Tidak mengherankan dengan perilaku demikian jika Natsir banyak memiliki kawan sejati dan sangat dicintai oleh para sahabat dan hampir semua lapisan masyarakat.
Masyarakat sangat mendambakan pemimpin pengabdi yang bekerja tanpa pamrih. Pemimpin yang berani memilih untuk memberi apa yang dimiliki kepada negeri daripada menuntut apa yang bisa diberikan negara kepadanya. Pemimpin yang senantiasa bersikap hanya memberi dan tak harap kembali. Pemimpin yang memilih hidup jujur dan sederhana walaupun memiliki peluang besar untuk hidup mewah bergelimang harta.