Jumat, 20 Juni 2025

Kawah Candradimuka itu Bernama Armuzna

Di dalam wukuf jemaah merenungkan hakikat penciptaan alam semesta dan menjadikan padang Arafah sebagaimana padang Mahsyar di akhirat kelak, yaitu tempat segala amal perbuatan manusia di dunia akan dihisab.

Hot News
  • Oleh: Naufal Mahfudz
  • Wakil Ketua Dewan Penasehat ICMI Orwilsus Bogor, Jemaah Haji Indonesia Tahun 2024

TENTANGKITA.CO – DALAM HITUNGAN HARI jemaah haji dari seluruh penjuru dunia akan segera melakukan proses inti haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Pada puncak ibadah haji ini jemaah Indonesia yang berjumlah 221.000 orang akan berbaur dengan lebih dari 1,8 juta jemaah haji dari seluruh dunia. Di Armuzna rangkaian rukun dan wajib haji akan ditunaikan.

Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan untuk jemaah haji yang terbaring sakit pun tetap harus diantar ke Arafah untuk melaksanakan wukuf atau yang dikenal dengan safari wukuf. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Haji itu intinya berwukuf di Arafah” (H.R. An-Nasai’). Artinya ibadah haji seseorang tidak akan sah tanpa berwukuf di Arafah.

Pada dasarnya ibadah rukun, wajib, dan sunnah haji yang dilaksanakan di tiga tempat ini merupakan bagian dari ‘napak tilas’ serta mencontoh rangkaian ibadah dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi sebelumnya, terutama Nabi Adam AS, Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Ismail AS.

Wukuf di Arafah

Arafah adalah hamparan padang pasir dengan luas sekitar 8 km persegi yang terletak di sebelah timur kota Mekkah dan berjarak sekitar 21 km dari pusat kota Mekkah. Lokasi padang Arafah berbatasan dengan pegunungan di sebelah timur dan perbukitan di sebelah utara yaitu Bukit Arafah. Arafah setiap tahunnya dapat menampung sekitar 2,5 juta jemaah haji dari seluruh dunia.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, teolog muslim Iran-Amerika, padang Arafah merupakan tempat bertemunya Nabi Adam AS dan Siti Hawa. Ketika diturunkan ke muka bumi Nabi Adam AS diturunkan di salah satu pulau di Srilanka dan Siti Hawa diturunkan di Jazirah Arab.  Nabi Adam AS terus melakukan taubat, hingga di suatu ketika malaikat meminta manusia pertama itu mengarahkan penglihatannya ke arah bukit yang luas, dan perbukitan itu adalah daerah padang Arafah.

Setelah ratusan tahun kedua sejoli ini dipisahkan, akhirnya oleh Allah SWT Nabi Adam AS dipertemukan dengan Siti Hawa di padang Arafah, tepatnya di sebuah bukit di bagian selatan Arafah, yang kemudian dikenal dengan nama Jabal Rahmah atau bukit kasih sayang. Tempat ini menjadi penting karena merupakan bagian dari sejarah pertemuan manusia pertama dengan pasangannya. Kedua insan ini pun berpelukan lama, hingga Nabi Adam melihat ke satu titik pandang yang kemudian di masa kini dikenal dengan Ka’bah.

Di zaman Nabi Muhammad SAW, Arafah dijadikan sebagai salah satu lokasi rukun dalam ibadah haji. Setiap tanggal 9 Dzulhijjah para jemaah mendatangi Arafah dan melakukan wukuf atau berdiam diri selama kurang lebih enam jam mulai dari matahari sudah tergelincir dari tengah hari hingga terbenamnya matahari. Wukuf merupakan puncak dari seluruh kegiatan ibadah haji. Di Arafah jemaah mendirikan shalat Dzhuhur dan Ashar dengan dengan cara dijamak dan diqashar (digabungkan dan diringkas). Setelah itu jemaah menyimak khutbah wukuf.

Melaksanakan wukuf berarti melakukan refleksi dan kontemplasi atas kehidupan dan segala ciptaan Allah SWT. Di dalam wukuf jemaah merenungkan hakikat penciptaan alam semesta dan menjadikan padang Arafah sebagaimana padang Mahsyar di akhirat kelak, yaitu tempat segala amal perbuatan manusia di dunia akan dihisab. Karenanya, di Arafah ini jemaah dianjurkan untuk banyak berdzikir, berdoa, memohon ampunan, dan melakukan muhasabah serta evaluasi atas segala perbuatan yang pernah dilakukan.

Jemaah haji Indonesia tahun 2024 di dalam tenda di Arafah
Jemaah haji Indonesia tahun 2024 di dalam tenda di Arafah/istimewa

Mabit di Muzdalifah

Muzdalifah adalah sebuah kawasan terbuka yang memiliki luas sekitar 12,25 km persegi dan terletak di antara Arafah dan Mina. Lokasi Muzdalifah sekitar 10 km dari Arafah dan 5 km dari Mina. Dalam rangkaian ibadah inti haji Muzdalifah menjadi tempat persinggahan atau bermalam setelah jemaah selesai wukuf di Arafah dan sebelum melakukan mabit di Mina.

Rasulullah SAW mencontohkan selesai melaksanakan wukuf di Arafah kemudian bergerak menuju Muzdalifah setelah terbenam matahari, yaitu di waktu Maghrib. Sesampai di Muzdalifah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat melaksanakan shalat Maghrib dan Isya dengan cara dijamak dan diqashar (digabungkan dan diringkas). Di Muzdalifah jemaah dianjurkan mencari dan mengumpulkan batu kerikil sebanyak 70 buah untuk persiapan melempar jumrah di Jamarat, Mina, sebagai simbol perlawanan terhadap godaan setan. Jemaah lalu bermalam sampai fajar atau waktu Shubuh.

Setelah menunaikan shalat Shubuh dan sebelum matahari terbit jemaah bergerak menuju Mina. Sejak tahun 2024 pemerintah Arab Saudi memberlakukan ‘skema murur’ untuk sebagian jemaah haji lanjut usia dan/atau yang memiliki penyakit berisiko tinggi. Bus yang ditumpangi berhenti sejenak di Muzdalifah dan jemaah tidak turun dari bus untuk diberi kesempatan berdoa dan berdzikir sebentar, lalu melanjutkan perjalanan ke Mina.

Makna melakukan mabit di Muzdalifah adalah sebagai momentum kontemplasi, introspeksi, dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT, di sebuah padang luas di waktu malam yang beratapkan langit dan bintang-bintang. Mabit di Muzdalifah ini juga memiliki makna memperkuat ukhuwah Islamiyah, karena seluruh jemaah haji dari segala penjuru dunia dan berasal dari berbagai bangsa ditempatkan bersama dalam satu hamparan tanah lapang yang luas tanpa tenda, sekat dan batas-batas fisik. Sesama jemaah saling membantu, berbagi tempat, dan bahkan berbagi makanan kecil dan minuman.

Mabit di Mina

Mina, yang dikenal sebagai kota seribu tenda (city ​​of a thousand tents), adalah sebuah lembah sempit yang memanjang dan dikelilingi oleh pegunungan serta tebing batu. Mina terletak di antara Mekkah dan Muzdalifah dan memiliki jarak kurang lebih 6 km dari Masjidil Haram ke arah timur laut Mekkah serta memiliki luas sekitar 7,82 km persegi. Area mabit (bermalam) Mina berbatasan dengan Jumroh Aqabah di sebelah barat, Muzdalifah di sebelah timur, dan bukit-bukit berbatu di sebelah utara dan selatan.

Tenda-tenda permanen di Mina dirancang untuk menampung lebih dari dua juta jemaah haji yang melakukan mabit. Jumlah tenda di Mina mencapai 300.000 lebih, baik yang ukuran besar atau kecil. Semua tenda tahan api dan memiliki sistem pendingin serta nomor pengenal untuk memudahkan jemaah dalam menemukan tenda yang ditempatinya. Mina dihuni secara penuh hanya saat musim haji, terutama sejak tanggal 8 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah. Selain waktu tersebut kota ini sepi dan hampir tidak ada aktifitas yang dilakukan.

Mina merupakan tempat yang sangat bersejarah bagi umat Islam, karena di tempat inilah Nabi Ibrahim AS diuji dan oleh Allah SWT dengan perintah menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Mina juga menjadi tempat Nabi Muhammad SAW bermalam dan melempar jumrah selama melaksanakan Haji Wada’. Bagi jemaah haji, Mina adalah tempat mabit, melempar jumrah, melaksanakan kurban, dan melakukan tahalul.

Menurut Syahruddin El-Fikri, penulis buku Sejarah Ibadah, ketika Nabi Ibrahim AS hendak menunaikan perintah Allah SWT yaitu menyembelih anak tersayangnya Nabi Ismail AS, Iblis terus mengganggunya agar mengurungkan niat tersebut. Merespon upaya yang dilakukan oleh Iblis, Nabi Ibrahim AS sama sekali tidak tergoda, bahkan mengambil tujuh buah batu dan melemparkannya ke Iblis. Kejadian ini kemudian disimbolisasikan oleh para jemaah haji dengan melontar Jumrah Ula (jumrah pertama).

Merasa gagal menggoda Nabi Ibrahim AS, maka Iblis kemudian mengganggu Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, dan memintanya agar suaminya tersebut menggagalkan rencana menyembelih anaknya, nabi Ismail AS. Namun, Siti Hajar menolak mentah-mentah permintaan itu dan melakukan hal yang sama dengan Nabi Ibrahim AS yaitu melempari Iblis dengan batu-batu. Para Jemaah haji melakukan simbolisasi peristiwa ini dengan melempar Jumrah Wustho (jumrah pertengahan).

Upaya terakhir Iblis ditujukan kepada Nabi Ismail AS, yang dianggap paling lemah imannya. Namun, Upaya ini juga sia-sia karena Nabi Ismail AS sejak awal memiliki iman dan keyakinan yang kuat bahwa perintah untuk menyembelihnya itu merupakan perintah Allah SWT langsung kepada ayahnya. Iblis untuk ketiga kalinya kembali menerima lemparan batu-batu. Hal ini kemudian disimbolisasi dengan melempar Jumrah Aqabah (jumrah terbesar dan paling dekat dengan Ka’bah).

Untuk meneladani dan mengabadikan keteguhan iman Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan Nabi Ismail AS ini, maka jemaah melaksanakan wajib haji yaitu melempar Jumrah Aqabah, Jumrah Wustha, dan Jumrah Ula. Tempat melempar jumrah saat ini ditujukan ke pilar-pilar yang berbentuk elips pipih sebagai simbol penaklukan terhadap iblis, setan dan berbagai macam hawa nafsu. Ini mengingatkan jemaah bahwa manusia dapat mengalahkan godaan iblis dan setan dengan melempar atau membuang jauh-jauh hawa nafsu.

Jemaah haji melaksanakan lempar jumrah
Jemaah haji melaksanakan lempar jumrah/istimewa

Bermalam di Mina dilakukan oleh jemaah mulai tanggal 10 Dzulhijjah -bagi yang tidak melakukan sunnah tarwiyah- hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Rangkaian kegiatan ibadah yang dilakukan di Mina selama empat hari adalah melempar tiga jumrah (Aqabah, Ula, Wustha), menyembelih hewan kurban, melakukan tahalul, dan bermalam.

Walaupun saat ini pemerintah Arab Saudi sudah menyediakan tenda ber-AC, toilet, layanan konsumsi dan kesehatan yang sangat memadai dibanding pada zaman Rasulullah SAW, namun jemaah tidak boleh kehilangan substansi dari mabit di Mina ini, yaitu saat-saat yang tepat untuk merenung, berdoa, berdzikir, dan mengerjakan ibadah-ibadah lainnya dengan khusyuk sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS.

Menginap selama empat hari tiga malam di tenda-tenda Mina bersama jutaan umat Islam menggembleng karakter kesabaran dan pengendalian diri para jemaah. Toilet dengan jumlah terbatas membuat jemaah harus berbagi waktu dan senantiasa menjaga kebersihan dan ketertiban. Berkumpul dan beribadah bersama saudara seiman dari segala penjuru dunia mewujudkan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah di antara para jemaah.

Melaksanakan lempar tiga jumrah dengan berjalan kaki beberapa kilometer menuju Jamarat (tempat melempar tiga jumrah) menempa karakter kepatuhan pada perintah Allah SWT dan perlawanan atas godaan iblis dan setan serta penaklukan berbagai macam hawa nafsu dalam kehidupan sehari-hari. Jarak terjauh tenda jemaah dari maktab ke Jamarat dapat mencapai 12 kilometer. Jarak ini ditempuh dengan berjalan kaki melalui terowongan Mina atau jalan raya.

Makna bermalam di Mina sebagaimana di Muzdalifah adalah sebagai momentum refleksi, memperbaiki diri, berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa, di dalam tenda-tenda yang penuh sesak berisi para jemaah. Mabit di Mina ini juga memiliki makna memperkuat ukhuwah Islamiyah, karena seluruh jemaah haji dari segala penjuru dunia dan berasal dari berbagai bangsa ditempatkan dalam satu maktab atau kompleks penginapan. Sesama jemaah tentu harus saling kenal, berbagi dan membantu.

Proses inti haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina bukan hanya bertujuan untuk menunaikan rukun dan wajib ibadah haji. Arafah, Muzdalifah, dan Mina juga bukan hanya sekedar lokasi geografis dan historis sebagai puncak ibadah haji. Namun lebih dari itu Armuzna merupakan kawah candradimuka atau tempat penggemblengan bagi jemaah untuk memperkuat karakter diri selama melaksanakan ibadah haji dan pasca ibadah haji di kehidupan sehari-hari.

Di Armuzna jemaah mendapat penggemblengan untuk meningkatkan keimanan, mengenang dan mencontoh karakter, perjuangan dan pengorbanan para Nabi, melatih keikhlasan, kesabaran dan pengendalian diri, serta mempererat ukhuwah Islamiyah sesama saudara seiman dari berbagai bangsa. Paling tidak ada lima budaya yang secara sadar atau tidak sadar membentuk karakter jemaah haji menjadi manusia-manusia yang beriman dan tangguh, yaitu budaya sehat, budaya bersih, budaya antri, budaya disiplin, dan budaya peduli.

Hampir seluruh rangkaian ibadah haji di tanah suci memerlukan budaya-budaya tersebut agar terwujud ketertiban, keteraturan, dan kenyamanan dalam beribadah, menjaga persaudaraan dan menghormati hak sesama muslim, serta membentuk karakter Ikhlas dan sabar bagi jemaah. Semoga seluruh jemaah haji dari Indonesia dan seluruh dunia di tahun ini memeroleh haji yang mabrur dan menjadi pribadi dengan akhlak dan karakter yang jauh lebih baik.

Temukan Artikel Viral kami di Google News
Artikel Terkait
Terpopuler
Terbaru

SBY: Jika Perang Iran vs Israel Tak Terkendali, Dunia di Ambang Malapetaka

TENTANGKITA.CO, JAKARTA -- Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkhawatirkan perang antara Iran vs Israel bakal menjadi malapetak...