Kamis, 29 Mei 2025

Ema Suranta Pengen Gubernur Kang Dedi Mulyadi Main-main ke Bank Sampah Bukit Berlian

“Makanya kami pengin banget Pak KDM main ke Kertamulya, ke Bukit Berlian, biar lihat langsung apa yang udah kami lakukan,” harap Ema.

Hot News

TENTANGKITA.CO – APA YANG ADA dalam imajinasi kalian kalau kata ‘sampah’ digabung dengan kata ‘berlian’ dalam satu nama? Kayaknya kontras, ya?

Sampah identik dengan yang jorok-jorok. Bikin jijik dan aroma gak enak di hidung. Nah kalau berlian, kebalikannya. Sebagai permata, benda itu menampilkan kemewahan, bling-bling, dan keindahan yang sedap dipandang mata.

Memang sih ada ungkapan ‘apalah arti sebuah nama’ dari penyair Inggris William Shakespeare. Tetapi, ada juga lho kalimat bijak sebagai lawannya. Bagi orang tertentu, ‘nama adalah segalanya karena mengandung doa di dalamnya’.

Tapi dua pepatah di atas jadi ngeblend kalau kita ngomongin satu komunitas di Padalarang, Bandung. Baik dari sisi makna tersurat maupun maksud tersirat. Namanya Bank Sampah Bukit Berlian. Dan, Ema Suranta adalah sosok yang paling tahu apa yang ada di balik layar sampai kasih nama komunitasnya seperti itu.

Cerita komunitas ini bermula pada 2019. Langkah awalnya simpel aja kok. Ema ngajak para emak-emak Rukun Warga (RW)-nya di Desa Kertamulya, Kabupaten Bandung Barat, untuk ngumpulin sampah anorganik kayak plastik, botol, dan kertas. Biar menarik, dia bikin program barter. Limbah ditukar alat rumah tangga. Hasilnya langsung terlihat, 83 orang mau ikutan gabung!

Tapi lama kelamaan, Ema merasa hanya ngumpulin sampah anorganik gak akan menyelesaikan atau paling gak mengurangi masalah limbah di lingkungannya. Persoalannya justru ada di jenis organik yang jumlahnya jauh lebih banyak.  “Harus ada langkah yang pas untuk ngatasin masalah sampah di lingkungan.”

Sebagai warga Bandung Raya Ema pasti ingat, gara-gara sampah pernah terjadi tragedi yang menelan korban 157 orang meninggal dunia, bikin 143 rumah rusak parah. Pada 21 Februari 2005, Senin dinihari sekitar pukul 02.00 WIB, terjadi ledakan di Tempat Penampungan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, berjarak sekitar 20 km dari tempat tinggal Ema.

Suara ledakan konon terdengar sampai 10 km. Gunungan sampah setinggi 60 meter sepanjang 200 meter terburai dan longsor. Dua wilayah; Kampung Cilimus dan Kampung Pojok di sekitar TPA tertimbun. Serem kan?

Katanya, penyebab ledakan adalah gas metana (CH4) yang memang biasa terbentuk dari tumpukan sampah organik. Hujan dengan intensitas tinggi selama beberapa hari sebelum ledakan bikin limbah di TPA Leuwigajah bertambah bobotnya.

Kejadian di TPA Leuwigajah jadi tragedi paling mengenaskan nomor dua  di dunia setelah peristiwa serupa di TPA Payatas Quezon City Filipina pada 10 Juli 2000 dengan korban lebih dari 200 orang meninggal. Tanggal 21 Februari kemudian ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

BACA DEH  9 Imbauan Arab Saudi untuk Jemaah Haji saat Wukuf Arafah, Nomor 1 Penting Banget

Setahun kemudian TPA Leuwigajah ditutup. Sebagai ganti, pemerintah daerah ngebangun TPA Sarimukti seluas 21,5 hektare di Cipatat, Bandung Barat, yang mulai beroperasi pada 2006. Namun, fasilitas itu pernah juga ditimpa musibah.

Pada 2023 terjadi kebakaran sehingga TPA Sarimukti ditutup sementara. Dampaknya, tumpukan sampah muncul  di Bandung Raya karena gak ada tempat lagi untuk menampung. Ema dan gank-nya termasuk orang yang melihat dan ngerasain langsung dampak kejadian itu.

“Bandung Lautan Sampah kembali terjadi,” katanya ketika dihubungi wartawan melalui telepon.

Potret kekinian di TPA Sarimukti tidak jauh berbeda dengan eks TPA Leuwigajah. Sampah yang datang sudah ngelebihin kapasitas. Overload. Nah ini yang memunculkan lagi kekhawatiran Ema.

Kayaknya Ema gak berlebihan. Toh Gubernur ‘Kang’ Dedi Mulyadi (KDM) bilang sudah terjadi darurat sampah di beberapa wilayah di Jawa Barat.“Khususnya di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat. Dan kita berproblem di Sarimukti,” kata KDM dalam video pendek di akun Instagram, @dedimulyadi71.

Salah satu upaya mengatasi problem di TPA Sarimukti, menurut KDM, adalah mengurai persoalan di hulu, bukan hanya di hilir.  Nah, Bank Sampah Bukit Berlian related banget dengan harapan dari Kang Gubernur Jabar.

Komunitas ini sudah ngolah sampah organik seperti sisa nasi, sayur, dan limbah dapur lainnya setelah sebelumnya hanya mengumpulkan sampah anorganik. ‘Tugas’ anggota komunitas ya memilah sampah, kemudian dimasukin ke ember yang sudah disiapkan.

Kebetulan Ema punya kenalan di Bening Saguling Foundation. Sampah organik sisa olahan dapur dikirim ke yayasan konservasi lingkungan yang sudah membudidayakan maggot atau Black Soldier Fly. Lalat itu bisa mengurai sampah organik. Maggot juga punya nilai ekonomis karena bisa dijual buat pakan ternak dan ikan.

BANTUAN PNM

Seiring berjalannya waktu, pengelola kepikir untuk ngolah sendiri limbah sampah organik yang ditampung Bank Sampah Bukit Berlian. Cuma ada persoalan pendanaan untuk mulai langkah itu. Kan, maggot perlu kandang.

Untungnya, Ema kenal dengan program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM) yang nyalurin pembiayaan ultramikro untuk perempuan. Untungya lagi, BUMN itu kepincut sama semangat dan inisiatif Ema dan emak-emak itu.

Ema lantas jadi nasabah PNM Mekaar. Gak pakai lama, Ema dapat modal Rp3 juta yang langsung dipakai beli 10 biopon—wadah untuk membudidayakan lmaggot –dan peralatan pendukung lainnya. Setelah itu, semuanya jadi lebih mengalir.

BACA DEH  Suhu di Arafah Saat Wukuf Bisa 50 Derajat, Jemaah Haji Diminta Tidak Keluar Tenda

PNM kasih bantuan dalam bentuk kandang maggot senilai Rp35 juta pada akhir 2023.  Tahun berikutnya, setelah melihat aktivitas gerakan Bank Sampah Bukit Berlian,  perusahaan pelat merah itu kasih bantuan kandang maggot lagi dengan biaya lebih gede, sekitar Rp100 juta.

Sekarang, Bank Sampah Bukit Berlian punya 120 anggota aktif. Setiap bulan mereka bisa mengolah 15 ton sampah organik dan panen 2 ton maggot setiap 24 hari sekali. Produknya juga makin beragam: dari maggot segar, maggot kering, tepung maggot, sampai pelet buat ikan hias.

Awalnya, pembeli utama maggot itu adalah para peternak ayam petelur. Tapi itu gak berjalan lama. Offtaker itu stop ngebeli. Ema dan gank-nya harus muter otak. Akhirnya dapat jalan keluar, komunitas itu mutusin buat budidaya ikan lele.

“Sekarang maggot yang kami produksi, kami pakai sendiri buat ternak lele,” cerita Ema.

Kepala desa di tempat Ema tinggal ikut turun tangan ngebantu dengan menyumbang 5.000 bibit ikan lele. Waktu panen pertama, kepala desa dan warga sekitar diundang. Pulangnya mereka dapat oleh-oleh ikan lele hasil budidaya bareng. Sip kan ya!

Dari dedikasi dan semangatnya bareng Bank Sampah Bukit Berlian mengolah sampah jadi maggot, Ema pun dapat Mata Lokal Award 2025, untuk subkategori Local Ace in Organic Waste Transformation. Keren kan?

Nah, dari hampir tujuh tahun berjuang, Ema belajar satu hal penting bahwa sampah gak harus dibuang, bisa diolah juga kok. Sampah bisa jadi masalah tapi bisa diubah jadi berkah. Warga juga bisa ambil bagian dari situ bahkan bisa merasakan manfaat ekonominya.

Seperti KDM Gubernur Jabar, Ema punya kesimpulan kalau urusan sampah gak bisa cuma diberesin dari hilir misalnya cuma bangun TPA atau tambah mesin pengolah. Kalau pasokan sampah terus nambah, ya masalahnya gak bakal kelar-kelar. Jadi, pembenahan harus dari hulunya juga.

“Makanya kami pengin banget Pak KDM main ke Kertamulya, ke Bukit Berlian, biar lihat langsung apa yang udah kami lakukan,” harap Ema.

Di sisi lain, kisah Ema dan gank-nya di Bank Sampah Bukit Berlian jadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari mana saja bahkan dari dapur dengan modal ember dan dari lingkungan kecil setingkat RW. Atau bermula dari keresahan emak-emak ngeliat sampah yang numpuk dan bikin bau.

Temukan Artikel Viral kami di Google News
Artikel Terkait
Terpopuler
Terbaru

9 Imbauan Arab Saudi untuk Jemaah Haji saat Wukuf Arafah, Nomor 1 Penting Banget

TENTANGKITA.CO, JAKARTA -- Pemerintah Arab Saudi menyampaikan 9 imbauan penting kepada jemaah haji saat pelaksanaan ibadah wukuf di Arafah,...