Senin, 14 Juli 2025

Oranye dan Solidaritas, Semangat ‘Perjoangan’ Mahasiswa FISIP Unsoed

Sejumlah mahasiswa aktivis seperti Nasihin, Ires, Baiquni, Agam, Ramelan, Tulus, saya dan pejuang-pejuang kampus lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu namanya mulai menggagas identitas, mulai dari warna, hingga makna.

Hot News

Oleh: Dr Yudha Heryawan Asnawi

Itu bukan tanpa makna! melainkan sejarah yang terpahat dalam lirih air mata dan semangat perjoangan.

TENTANGKITA.CO — PURWOKERTO TAHUN 80-AN adalah kota yang masih tenang, seperti waktu yang memilih untuk berjalan lambat. Jalanan belum padat kendaraan, belum ada pusat perbelanjaan yang mencolok, dan suara mesin fotokopi pun masih terdengar asing di lorong-lorong kampus. Hanya bila malam suara mesin ketik mahasiswa menggema seperti suara gemericik hujan deras, oleh karena tugas kuliah yang tak selesai hingga subuh.

Di pinggir kota itulah, kampus Kalibakal berdiri. Ia bukan gedung megah dengan arsitektur modern, melainkan bangunan tua bekas sekolah Tionghoa yang diambil alih pasca 1965. Setengah tembok setengah kayu, dengan ventilasi dari ram kawat yang memantulkan cahaya pagi dan desir angin sore, menjadi ruang bagi para calon ilmuwan sosial yang menapaki jalan pengetahuan dalam keadaan serba terbatas.

Kala itu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik belum lahir sebagai entitas utuh. Program studi Sosiologi dan Administrasi Negara masih menjadi anak tiri dalam tubuh Fakultas Hukum. Statusnya menggantung, seperti anak muda yang belum diakui jati dirinya. Namun, dari ketidakjelasan itu, semangat mulai tumbuh.

Sejumlah mahasiswa aktivis seperti Nasihin, Ires, Baiquni, Agam, Ramelan, Tulus, saya dan pejuang-pejuang kampus lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu namanya mulai menggagas identitas, mulai dari warna, hingga makna.

Oranye adalah warna yang mereka pilih. Bukan karena tren atau keindahan semata, tapi karena ada jiwa yang menyala di baliknya. Warna ini, yang dalam pancaran alam kadang disebut jingga, adalah warna fajar yang menandai harapan baru dan warna senja yang mengantar perenungan.

Ia bukan merah yang menyala marah, bukan kuning yang bersahaja, melainkan campuran keduanya: gairah dan kecemasan, semangat dan keraguan. Oranye adalah warna transisi—dan dalam transisi itulah para mahasiswa mengukir arah masa depan.

Secara semantik, oranye adalah warna yang menyimbolkan energi, perubahan, dan gerakan. Dalam spektrum cahaya, ia berada di tengah antara panasnya merah dan tenangnya kuning. Dalam psikologi warna, oranye diasosiasikan dengan semangat sosial, komunikasi, dan vitalitas. Ia bukan warna yang duduk tenang, tetapi berdiri gelisah—dan dari kegelisahan itulah perubahan lahir.

Oranye dalam konteks FISIP Unsoed menjadi lebih dari sekadar simbol. Ia adalah ekspresi ketegangan dan harapan, ketakpastian yang dikelola menjadi keberanian. Ia lahir dari ruang-ruang diskusi yang riuh, dari coretan tangan-tangan mahasiswa yang tak puas hanya menjadi bayang-bayang fakultas lain. Bahwa warna tersebut lazim digunakan untuk fakultas peternakan di sejumlah kampus besar, justru menjadi bentuk perlawanan kecil: bahwa identitas tidak harus mengikuti konvensi, tapi boleh lahir dari pengalaman eksistensial.

Pilihan oranye adalah bentuk keberanian. Ia mewakili perjuangan untuk keluar dari bayang-bayang Fakultas Hukum dan menjadi fakultas yang mandiri. Warna ini menyuarakan tekad untuk menjadi terang sendiri, bukan sekadar pantulan cahaya dari fakultas lain. Dalam setiap bendera, kaos, hingga selebaran yang berwarna oranye, terkandung darah-darah muda yang mendobrak tembok ketidakjelasan status, dan menggantinya dengan tembok keyakinan.

Namun warna tak cukup. Maka lahirlah semboyan: solidaritas. Kata ini dipilih bukan sekadar untuk menyatukan, tetapi untuk mengingatkan. Solidaritas bukan hanya saling membantu, tetapi saling menanggung. Dalam bahasa Inggris: solidarity, dalam Belanda: solidariteit, dalam Yunani: allilengýi, dan dalam bahasa Arab: (tadhamun). Di semua akar katanya, terdapat makna yang sama: keterhubungan yang lahir dari rasa satu nasib.

Filosofisnya, solidaritas adalah pondasi masyarakat yang adil. Dalam pemikiran Durkheim, solidaritas mekanik dan organik menjelaskan bagaimana masyarakat bersatu, baik karena kesamaan maupun karena saling melengkapi. Dalam filsafat politik, solidaritas adalah jembatan antara individu dan kolektif. Maka, ketika aktivis mahasiswa Program Studi Sosiologi dan Administrasi Negara Unsoed memilih frasa ini, mereka sedang membangun pondasi etis untuk kebersamaan. Bukan hanya bersama ketika senang, tapi juga ketika getir menghadang.

Inspirasi itu datang dari jauh—dari galangan kapal di Gdansk, Polandia. Lech Wałęsa dan gerakan Solidarność-nya melawan rezim komunis, bukan dengan senjata, tetapi dengan persatuan kaum buruh. Semangat itu menular ke Purwokerto kecil, ke lorong-lorong Kalibakal. Mahasiswa FISIP yang merasa dipinggirkan, menemukan resonansi perjuangan dalam semangat buruh Polandia. Bahwa menjadi kecil bukan alasan untuk tunduk, dan bahwa kekuatan bisa lahir dari simpul-simpul solidaritas yang kuat.

Solidaritas itu pula yang membuat mahasiswa tak sekadar belajar teori, tapi menghidupkan teori itu dalam gerakan. Dari pertemuan-pertemuan malam hari di bawah lampu temaram, hingga aksi-aksi simbolik, semua mengarah pada satu tujuan: kebebasan akademik dan identitas kelembagaan. Solidaritas menjelma menjadi tulang punggung dari lahirnya FISIP Unsoed yang mandiri.

Kini, ketika FISIP Unsoed telah berdiri megah dengan fakultas yang diakui, gedung-gedung yang layak, dan program studi yang berkembang, warna oranye tetap berkibar. Ia adalah pengingat akan masa-masa sulit. Ia bukan sekadar kenangan, tapi kompas yang mengarahkan visi ke depan. Bahwa apapun pencapaiannya, fakultas ini lahir dari perjuangan yang getir, dari keringat dan air mata para mahasiswa yang enggan menyerah.

Oranye dan solidaritas bukan sekadar warna dan semboyan. Ia adalah dua puisi yang ditulis dalam sejarah kampus. Yang satu berbicara dalam warna, yang satu berbicara dalam kata, namun keduanya berbicara tentang makna: bahwa perjuangan memerlukan gairah dan kebersamaan, keberanian dan ketekunan.

Maka, bagi setiap generasi FISIP Unsoed, oranye bukan hanya warna seragam. Ia adalah matahari yang selalu menyala, fajar yang tak pernah padam. Dan solidaritas bukan hanya slogan, tapi warisan nilai yang mengikat. Jika warna itu bisa bicara, ia akan berkata: aku dilahirkan dalam kebimbangan, tapi tumbuh dalam keberanian dan harapan.

Begitulah sejarah itu tidak ditulis dalam lembar kertas saja, tapi dalam kenangan yang terus menyala di dada. Oranye dan solidaritas: dua kata yang menyatukan masa lalu yang lirih, masa kini yang kokoh, dan masa depan yang harus lebih berani.

Salam Oranye! Salam Solidaritas.

Dr Yudha Heryawan Asnawi adalah alumni Program Studi Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) angkatan 1988

Temukan Artikel Viral kami di Google News
Artikel Terkait
Terpopuler
Terbaru

Presiden Prabowo: Kemitraan Eropa dan Indonesia Penting Bagi Stabilitas Dunia

TENTANGKITA.CO, BRUSSEL -- Presiden Prabowo Subianto, bertemu dengan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, di kantor pusat Uni...